kuangFoundation. Diberdayakan oleh Blogger.

pembentukan Negara Sumatera Selatan


 Latar Belakang Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia
Proklamasi 17 agustus 1945 yang ditanda tangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta ternyata tidak serta merta membuat Belanda mengakui kemerdekaan dan kedaualatan negara Republik Indonesia yang merupakan bekas jajahannya sebagai negara baru dan berdaulat. Belanda menilai Proklamasi 17 agustus 1945 itu sebagai perbuatan makar dan mesti dibasmi sehingga mereka melakukan tindakan pendudukan Republik Indonesia dengan membonceng tentara sekutu. Ketika taktik seperti ini tidak berhasil maka pihak Belanda pada tahun 1947 dan 1948 melakukan Agresi Militer terhadap Republik Indonesia. Belanda menganggap penyerangan ini bukanlah suatu Agresi, akan tetapi merupakan aksi polisionil pemerintah yang sah terhadap para pemberontak dan ekstrimis karena mereka tidak pernah mengakui proklamasi 17 agustus 1945.
Pengakuan kedaulatan di daerah Sumatera Selatan dilakukan Sebelum terjadinya pengakuan kedaulatan secara resmi oleh pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia tanggal 27 Desember 1949. Hal ini disebabkan karena di daerah Sumatera Selatan telah dilakukan perundingan-perundingan yang bersifat lokal antara pihak Belanda dengan pihak Militer dan masyarakat Sipil yang ada di Sumatera Selatan. Oleh karena itu penyerahan kedaulatan antara pihak Militer Belanda dengan Pihak Militer dan masyarakat di Sumatera Selatan berlangsung dalam waktu yang berbeda di tiap-tiap kota yang ada di Sumatera Selatan.
Pada tanggal 27 desember 1949 merupakan hari kemenangan diplomasi Republik Indonesia dan Pembebasan penderitaan rakyat Indonesia dari ancaman perang dan penjajahan Belanda yang membuat rakyat indonesia bersuka cita melupakan kesedihan dan penderitaan selama masa perang dan revolusi selama bertahun-tahun. 
Dalam keputusan Konferensi Malino tanggal 16 sampai 22 Juli 1946, Negara Indonesia Serikat yang akan dibentuk terdiri dari Jawa, Sumatera, Timur Besar dan Kalimantan.  Namun pembentukan Negara Sumatera Selatan secara resmi baru berdiri tanggal 30 Agustus 1948.  Tetapi hanya dalam waktu singkat 17 bulan, pada tanggal 18 Maret 1950 Negara Sumatera Selatan kemudian berkahir.




Negarai Bagian, Negara Sumtra Selatan Tahun hasil dari KMB


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proklamasi 17 agustus 1945 yang ditanda tangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta ternyata tidak serta merta membuat Belanda mengakui kemerdekaan dan kedaualatan negara Republik Indonesia yang merupakan bekas jajahannya sebagai negara baru dan berdaulat. Belanda menilai Proklamasi 17 agustus 1945 itu sebagai perbuatan makar dan mesti dibasmi sehingga mereka melakukan tindakan pendudukan Republik Indonesia dengan membonceng tentara sekutu. Ketika taktik seperti ini tidak berhasil maka pihak Belanda pada tahun 1947 dan 1948 melakukan Agresi Militer terhadap Republik Indonesia. Belanda menganggap penyerangan ini bukanlah suatu Agresi, akan tetapi merupakan aksi polisionil pemerintah yang sah terhadap para pemberontak dan ekstrimis karena mereka tidak pernah mengakui proklamasi 17 agustus 1945.
Pengakuan kedaulatan di daerah Sumatera Selatan dilakukan Sebelum terjadinya pengakuan kedaulatan secara resmi oleh pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia tanggal 27 Desember 1949. Hal ini disebabkan karena di daerah Sumatera Selatan telah dilakukan perundingan-perundingan yang bersifat lokal antara pihak Belanda dengan pihak Militer dan masyarakat Sipil yang ada di Sumatera Selatan. Oleh karena itu penyerahan kedaulatan antara pihak Militer Belanda dengan Pihak Militer dan masyarakat di Sumatera Selatan berlangsung dalam waktu yang berbeda di tiap-tiap kota yang ada di Sumatera Selatan.
Pada tanggal 27 desember 1949 merupakan hari kemenangan diplomasi Republik Indonesia dan Pembebasan penderitaan rakyat Indonesia dari ancaman perang dan penjajahan Belanda yang membuat rakyat indonesia bersuka cita melupakan kesedihan dan penderitaan selama masa perang dan revolusi selama bertahun-tahun.
Dalam keputusan Konferensi Malino tanggal 16 sampai 22 Juli 1946, Negara Indonesia Serikat yang akan dibentuk terdiri dari Jawa, Sumatera, Timur Besar dan Kalimantan.  Namun pembentukan Negara Sumatera Selatan secara resmi baru berdiri tanggal 30 Agustus 1948.  Tetapi hanya dalam waktu singkat 17 bulan, pada tanggal 18 Maret 1950 Negara Sumatera Selatan kemudian berkahir.




Rumusan Masalah
Bagaimana Akhir Agresi Militer II Belanda?
Bagaimana Pengakuan Kedaulatan Di Sumatera Bagian Selatan?
Bagaimana terbentuknya Negara Sumatera Selatan?





















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Akhir Agresi Militer II Belanda
Agresi Militer II Belanda mendapatkan kecaman dari dunia internasional. Dunia internasional mendukung perjuangan rakyat Indonesia dan mengklaim Belanda dengan berbagai pernyataan dan resolusi yang secara politis telah memojokkan Belanda di bidang diplomasi. Bahkan PBB ikut campur tangan dalam penyelesaian masalah Indonesia. Selanjutnya PBB membentuk UNCI (United Nations Commision for Indonesia) sebagai pengganti Komisi Tiga Negara (KTN), dengan ketuanya Merle Cochran (Amerika) dan TK Chritchley (Australia) serta R.Harremans (Belgia) sebagai anggota. Tanggal 14 April 1949, secara resmi dimulai perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pihak Indonesia dipimpin oleh Mr.Roem Royen sedangkan Belanda oleh Dr.J.H.Van Royen.

2.3 Pengakuan Kedaulatan di Sumatera Selatan
Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949 oleh Belanda
Pada tanggal 23 Desember 1949 delegasi RIS diketuai oleh Drs. Moh Hatta dengan anggota Sultan Hamid Algadrie, Suyono Hadinoto, Dr. Suparmo, Dr. Kusumaatmaja dan Prof Dr. Supomo berangkat ke Belanda. Pada tanggal 27 Desember 1949 pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat. Di dua tempat:
Negeri Belanda
Ratu Juliana, Perdana Menteri Willem Dress, dan Menteri Seberang Lautan, A.M.J.M. Sassen menyerahakan kedaulatan kepada pemimpin delegasi Indonesia (RIS), Drs. Moh. Hatta.
Di Jakarta
Wakil Tinggi Mahkota A.H.J Lovink menyerahkan kedaulatan kepada wakil pemerintah RIS., Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Bersama dengan itu, di Yogyakrta Presiden Sukarno menerima penyerahan kedaulatan Republik Indonesia ke dalam RIS Pejabat Presiden Assaat. Dan tanggal 28 Desember 1949 pusat pemerintahan RIS dipindahkan lagi ke Jakarta. Sebulan kemudian, yaitu pada tanggal 29 Januari 1950, Jenderal Soedirman meninggal pada usia 32 tahun. Soedirman adalah pahlawan besar bagi TNI dan rakyat Indonesia.
Pengakuan kedaulatan di daerah Sumatera Selatan dilakukan Sebelum terjadinya pengakuan kedaulatan secara resmi oleh pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia tanggal 27 Desember 1949. Hal ini disebabkan karena di daerah Sumatera Selatan telah dilakukan perundingan-perundingan yang bersifat lokal antara pihak Belanda dengan pihak Militer dan masyarakat Sipil yang ada di Sumatera Selatan. Oleh karena itu penyerahan kedaulatan antara pihak Militer Belanda dengan Pihak Militer dan masyarakat di Sumatera Selatan berlangsung dalam waktu yang berbeda di tiap-tiap kota yang ada di Sumatera Selatan.
Pada pukul 08.30 pagi tanggal 4 Desember 1949, pihak Belanda melakukan penandatanganan penyerahan Muara Dua pada pemerintah RI dan bertempat di kantor Camat Muara Dua. Dalam penyerahan ini di hadiri oleh : Dari TBA, terdiri dari Bupati Baturaja Bustan, Wedana Baturaja A.S. Bakri, Wedana Muara Dua A. M. Zailani, Depati Bumiagung Cik Agus dan lain-lain. Dari pihak TNI yaitu LetKol Bambang Utoyo, Kapten M. Zen, Kapten Dani Effendi, Letnan Dua Noeh Matjan, Letnan Yogi Supardi (Verbindings Offiser), Letnan satu Syamsul Bahri Umar, Pembantu Letnan Raden Iteh, Vandrig Den Mahmud, sersan Sapari Kopral Aziz dan dari Polisi RI yaitu Komisaris Moh. Amin, Inspektur Akhmid. Sedangkan dari pihak Pamong Praja RI yaitu Bupati Nawawi, Wedana Zainal Abidin Nuh, dan Camat Busroni Anang. Adapun orang yang menerima penyerahan kedaulatan di daerah Muara Dua adalah Kapten Dani Effendi.
Selanjutnya diadakanlah perundingan lagi antara pihak Belanda dengan TNI tentang penyerahan Simpang Martapura dan Tanjung Lengkayap. Selain Muara Dua dilakukan juga penyerahan daerah-daerah lain oleh Belanda. Upacara Penyerahan Simpang Martapura dari pihak Belanda kepada pihak TNI dilakukan pada tanggal 17 Desember 1949 puku 08.00 Wib. Upacara tersebut di hadiri oleh : dari pihak UNCI yaitu Mayor Oldemeadow, dari pihak TBA, TNI dan Polisi adalah Depati Marga Kiti, Letnan Dua Noeh Matjan, Komisaris Polisi Mohd amin, Inspektur Polisi Abubakar dan dari Pamong Praja adalah Bupati Nawawi, Wedana M. Arief serta Camat Musa. Pada tanggal 19 Desember 1949 dilaksanakan penyerahan Tanjung Lengkayap secara simbolis. Pada tanggal 22 Desember 1949, sejumlah anggota TNI diberangkatkan ke Baturaja untuk mengadakan persiapan penyerahan Baturaja dari pihak Belanda pada pemerintah RI. Mereka adalah Letnan Dua Noeh Matjan, Vandrig Den Mahmud, Vandrig Usman Agus, Sersan Mayor OM. Zen Husein, dan Sersan Mayor Wahib. Pada tanggal 29 Desember dilaksanakanlah penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia di Baturaja (Ali Agus,1992:119-123).
Penyerahan kekuasaan dari pihak pemerintah Belanda di daerah Musi Rawas diatur sebagai berikut: “Perletakkan Senjata, untuk memudahkan pengawasan dan tertib Komandan SSTPU (sub sektor Tengah Palembang Utara), membagi daerah Musi Rawas menjadi bsektor-sektor pelaksana yaitu
Sektor I meliputi daerah Air Kati, Muara Saling, dan Kebur dari pasukan Kompi A dan pasukan yang sedang berada didaerah tersebut dipimpin oleh Letnan Dua R Winarto dan berpusat di Air Kati
Sektor II meliputi daerah-daerah Bingin Teluk, Rawas Ulu dan Muara Rupit dari Batalion II dan pasukan-pasukan yang ada didalamnya, dipimpin oleh Letnan Satu Usman Bakar dan berpusat di Bingin Teluk
Sektor III meliputi daerah-daerah Terawas, Tugumulyo, Muara Kati, Semanggus dan Muara Lakitan, dari kompi B, C, D, dan G, serta dipimpin oleh Letnan Satu A. Wahab Sarobu yang berkedudukan di Mandi Aur
Sektor IV, meliputi daerah Binjai, Muara Kelingi, Muara Beliti, terdiri dari Detasmen Mobil SSTPU, sebagian dari Kompi B dan Staf SSTPU, serta dipimpin oleh Kapten M. Sai Husin Kepala Staf SSTPU, berkedudukan di Binjai, kemudian pindah bergabung pada Sektor III di Mandi Aur.
Pada tanggal 29 Desember 1949, rombongan dari seluruh pasukan yangg berada di sektor Palembang Utara (kecuali kesatuan Batalion II pimpinan Letnan Satu Usman Bakar), berkumpul di Mandi Aur. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk melaksanakan ketentuan di atas, maka pada tanggal 266 Desember 1949 barisan pasukan mulai bergerak dari Mandi Aur, dan yang ditunjuk sebagai koordinator ialah komandan Sektor III dengan urutan sebagai berikut : untuk bagian terdepan ialah pasukan kesatuan CPM dengan jumlah sebanyak 40 orang, Pasukan Korp Musik kurang lebih 30 orang, Kompi C pimpinan Letnan A. Gori Ujud, kurang lebih 90 orang, Kompi B pimpinan Letnan A. Badauddin lebih kurang 70 orang. Kompi D pimpinan Letnan Darmo lebih kurang 60 orang, Kompi G pimpinan Letan Roni Asir lebih kurang berjumlah 70 orang, staf SSTPU dan staf Batalion Istimewa pimpinan Sersan Mayor Suparno sebanyak 50 orang. Untuk rombongan Pemerintah Sipil lebih kurang 80 orang serta pasukan-pasukan Perlawanan-perlawanan Rakyat yang dipimpin oleh Ali Kuang kurang lebih berjumlah 200 orang.
Pada sore hari tanggal 30 Desember 1949 rombongan pasukan TNI tiba di kota Lubuk Linggau. Mereka disambut oleh masyarakat Lubuk Linggau dengan cukup meriah dan penuh rasa keharuan. Mereka juga diterima dengan suatu upacara di lapangan Merdeka di Lubuk Linggau, dan sesudah membaca doa diadakanlah makan bersama dengan hiburan musik lagu-lagu perjuangan (A. Madjid Usul,1980: 20-38). Penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada pihak Indonesia di Musi Rawas diterima oleh M. Hasan, di Muara Rupit oleh Mayor Saroinsong, di Lubuk Linggau oleh bupati R. Ahmad, di Pagaralam oleh Mayor Rasyad Nawawi dan Amaludin (Bupati Lahat yang saat itu ada di Pagaralam).
Di Muara Enim, penyerahan kedaulatan dilakukan dari pihak Belanda kepada pihak RI. Letnan Dua Gunawan Aman Selaku Komandan Kompi I Batalion XVI yang menggantikan Letnan Satu Nahwi menerima penyerahan kedaultan tersebut. Di daerah Kayuagung, pelaksanaan Upacara pengakuan kedaulatan dilakukan di halaman kantor Bupati kayuagung dengan upacara pengibaran Bendera dengan penuh hikmat. Pengibaran bendera tersebut dilakukan oleh Kopral A. Karim Umar Hasan, sedangkan yang menerima penyerahan kedaulatan tersebut adalah Kapten Makmun Murod. Selain itu juga diadakan upacara yang sama bertempat dihalaman kantor Wedana Tanjung Raja (A. Karim Umar Hasan,2002:12)
Pengambilan pemerintahan sipil dari pihak Belanda untuk wilayah keresidenan Palembang dilakukan di Pagaralam pada tanggal 17 Desember 1949. Adapun yang menerima penyerahan kedaulatan itu adalah Residen A. Rozak (Johan Hanafiah (ed),1998:190). Berkaitan dengan penyerahan itu maka di Palembang dilakukan upacara penyerahan kekuasaan militer dan sipil dari pihak Belanda kepada Pemerintah RI yang dilakukan pada tanggal 27 Desember 1949. Untuk daerah Keresidenan Bangka Belitung penyerahan kedaulatan diterima oleh kapten Tameka. Dengan demikian, pengoveran atau pemindahan kekuasaan berakhir disejumlah daerah Sumatera Selatan khususnya dan Indonesia pada umumnya.



Negara Sumatera Selatan
Negara Sumatera Selatan (NSS)  salah satu negara bagian dalam negara federal di Indonesia, pemebentukannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik  dan kondisi Indonesia pada masa revolusi.  Pada masa itu, setelah Belanda kembali ke Indonesia berkembang dua pemikiran bentuk kenegaraan yaitu bentuk negara kesatuan dan bentuk negara federasi.  Republik Indonesia menginginkan bentuk negara kesatuan sedangkan Belanda menghendaki bentuk negara federasi.  Perselisihan antara kedua negara itu mulai menemukan persamaan persepsi sejak persetujuan Linggarjati di paraf pada tanggal 15 Nopember 1946.  Sejak saat itu penyelesaian konflik antara Indonesia-Belanda selalu mengacu pada kerangka pembentukan negara serikat. Semenjak Belanda menginjakan kakinya untuk kedua kali di Indonesia, Belanda beranggapan bahwa bentuk bentuk negara yang paling cocok bagi Indonesia adalah adalah negara federal.  Hal ini disebabkan karena perbedaan-perbedaan yang amat besar antara daerah satu dan lainnya di kepulauan Indonesia.  Pandangan pemerintah Belanda ini bisa saja benar adanya karena negara federal memang cocok dengan masyarakat yang amat beragam dan bersifat majemuk dalam banyak hal seperti sosial, kultural, geografis, dan kekayaan sumber-sumber daya alam.
Sistem federal memberikan kesempatan kepada daerah-daerah yang berbeda-beda itu untuk mengatur diri sendiri tanpa harus tunduk kepada pemerintah pusat yang cenderung mengatur secara nasional dengan mengabaikan ciri-ciri khas yang ada di berbagai daerah.  Akan tetapi, sejarah telah menunjukan bahwa negara federal telah digunakan oleh penguasa pemerintah kolonial Belanda untuk memecahbelah rakyat Indonesia.  Karena Belanda tidak mampu membubarkan Republik Indonesia dan mengalahkan kekuatan militernya maka Belanda membentuk sejumlah negara bagian yang akan bergabung menjadi negara federal untuk mengalahkan Indonesia (Rauf, 1998: 2).
pada tanggal 25 November 1945 dan kemudian dipakai sebagai dasar di dalam pembicaraan selama Konferensi Malino pada bulan Juli 1946. Dalam konferensi ini wakil – wakil Kalimantan dan Indonesia Timur berkesimpulan bahwa dalam tertib ketatanegaraan Indonesia, federalis harus menjadi dasar suatu kesatuan tata negara yang meliputi seluruh Indonesia  jadi bentuknya Negara Indonesia Serikat.  Keterkaitan negara federal dengan keinginan Belanda untuk mempertahankan kekuasaanya di Indonesia diperkuat oleh kenyataan bahwa batas negara-negara bagian yang dibentuk Belanda di Sumatera dan Jawa adalah garis gencatan senjata yang dibuat oleh Belanda dan Republik Indonesia.  Hal ini menunjukan bahwa negara bagian tersebut adalah rekayasa Belanda.  Politik Belanda dalam menciptakan negara federal di Sumatera Selatan didukung keadaan politik di Palembang ketika  elite poitik dalam keadaan lemah, hal ini mempermudah Belanda memasukan politik dengan mempengaruhi orang-orang dapat diajak kerjasama.
Dalam peraturan tata Negara Sumatera Selatan, wilayah yang termasuk dalam NSS adalah wilayah dalam keputusan pemerintah tanggal 30 Agustus 1948 nomor 4 (staadsblad nomor 204) yaitu wilayah Sumatera Selatan.  Ibu kota negara adalah Palembang, bahasa resmi adalah bahasa Indonesia.  Menurut Kahin, meskipun Sumatera Selatan mempunyai status negara bagian selama delapan bulan keadaan wilayahnya hanya meliputi Karesidenan Palembang, kira-kira seperempat wilayah  Sumatera Selatan (Kahin, 1995: 485).  Sementara itu Abdul Malik selaku Wali Negara mengatakan ada beberapa daerah yang akan dimasukan secara sukarela ke dalam wilayah NSS, wilayah itu adalah daerah-daerah di Palembang, Bengkulu dan Jambi.  Walaupun wilayah ini tidak sepenuhnya meliputi daerah-daerah di Sumatera Selatan tetapi hal ini cukup mewakili daerah Sumatera Selatan.  Penduduk daerah-daerah ini secara budaya terikat dengan Sumatera Selatan dan melalui ungkapan secara bebas dan demokratis menyatakan harapan untuk bergabung dengan NSS.  Dengan demikian semua orang yang berada di wilayah negara memiliki hak dan perlindungan yang sama.
Meskipun  NSS berdiri dan mendapat sambutan terutama dari kalangan federalis, namun sesungguhnya dukungan rakyat terhadap negara federal ini sangat lemah.  Hal ini nampak jelas hampir semua negara federal di Indonesia tidak berkembang, setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk tanggal 27 Desember 1949.  Bentuk negara federal hasil persetujuan konferensi Meja Bundar itu pada dasarnya bukan bentuk yang berakar kepada kehendak penduduk.  Negara Sumatera Selatan berakhir tanggal 18 Maret 1950, umur negara ini hanya 17 bulan.  Pada masa NSS berdiri keadaan daerah Palembang masih diliputi dengan suasana yang tidak aman, proses politik dijalankan secara paksa.  Kondisi sosial dan ekonomi daerah Sumatera Selatan pada pertengahantahun 1948 tidak terlalu mengembirakan hal ini disebabkan oleh suasana perang.  Rakyat mengalami kesulitan dalam menghadapi harga yang dirasakan cukup tinggi.  Keadaan ini dapat mempengaruhi jalannya perekonomian di NSS yang mengandalkan hasil perkebunan karet, minyak dan batubara.  Meskipun Abdul Malik mengaku harga karet cukup tinggi dan perdagangan mencapai kemajuan, ekspor karet perbulan mencapai 1,5 ton ekspor minyak mencapai 400.000 ton perbulan dan ekspor batubara 30.000 ton (Pelita, 1 Maret 1949 halaman 1).  Namun demikian pendapatan itu belum dapat memenuhi anggaran belanja NSS berjumlah 70.000.000 pertahun, sedangkan pemasukan uang hanya f 15.000.000 pertahun (Pemandangan, 28 Januari 1950 Halaman.

Peran Palembang Sebagai Ibu Kota Negara Sumatera Selatan
Pada bulan-bulan terkahir tahun 1945, keamanan di Palembang menjadi sulit karena terjadi banyak peristiwa.  Di wilayah lain umunya pemerintahan daerah dapat berkerja terus dengan beberapa perubahan seperti penggantian tenaga Jepang oleh tenaga Indonesia.    Letak geografis Palembang, sejak masa sebelum revolusi amat menarik.  Letaknya yang relatif dekat dengan Batavia, menyebabkan Palembang lebih terintegarsi ke dalam lingkaran pengaruh pusat atau Batavia.  Kehidupan perdagangan di kota ini didukung dengan tersediahnya hasil alam sperti karet, kopi dan barang komoditi lainnya.  Peranan kota Palembang lebih penting lagi dengan adanya pelabuhan samudra Boom Baru yang dapat menampung kapal-kapal yang masuk dan keluar.
Di samping itu terdapat juga stasiun kereta api Kertapati yang menjadi penghubung menuju Tanjung Karang, lewat stasiun ini barang-barang dapat dianngkut menuju pulau Jawa.  Pada awal masa revolusi sudah  terbuka jalan lewat darat dari arah selatan yaitu daerah Tannjung Karang dan Bengkulu.  Selain itu dari daerah utara merupakan pintu masuk dari daerah Jambi dan daerah utara pulau Sumatera.  Dengan lancarnya perhubungan ini, Palembang manjadi berkembang dalam bidang perdagangan. Posisi ini dapat menjadi kelebihan ataupun kerugian jika dilihat dari pendudukan bangsa asing di daerah ini.  Karena itu dua bulan setelah proklamasi, tanggal 12 Oktober 1945 tentara Inggris telah mendarat di Palembang, di bawah pimpinan Letkol Carmichel.  Kedatangan tentara ini dilengkapi pula dengan badan- badan pemerintahan seperti AMACAB (Allied Military Administration Civil Affair Branch) yaitu pemerintahan gabungan militer dan sipil sekutu bangsa Belanda dan Inggris.  Bangsa Indonesia telah menduga kedatangan sekutu ini diboncengi tentara Belanda yang dilengkap dengan pemerintahan sipil yaitu NICA (Nederlandsn Indies Civil Administration) badan inilah yang dipersiapkan Belanda untuk menjajah Indonesia kembali.  Masalah inilah nantinya menjadi pangkal perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.  Pasukan sekutu terus berkembang dengan cepat karena kedatangan mereka ke Palembang secra bergelombang.  Rombongan yang kedua mendarat pada tanggal 13 Maret 1946 dipimpin oleh Brigadir Jenderal Hutchinson.



















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebelum terbentuknya Negara Sumatera Selatan, wilayah sumsel banyak menagalami peristiwa-peristiwa penting seperti kedatangan bangsa Sukutu yang di boncengi NICA, dan agresi Militer Belanda I pada tahun 1947. Dalam melewati peristiwa tersebut para pejuang Sumsel banyak melakukan Perjajian-perjanjian dengan pihak Belanda sesuai dengan instruksi dari pusat untuk menekan Belanda supaya mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Sampai pada saat di tanda tangani perjanjian Roem-Royen untuk melaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Dag Haag Belanda. Yang pada Akhirnya merubah bangsa Indonesia Menjadi Negara Indonesia Serikat. Dan termasuk Sumatera Selatan mejadi Negara bagian dengan nama Negara Sumatera Selatan (NSS).
Perjalanan sejarah di Sumatera Selatan diwarnai dengan berdirinya negara federal yang bernama Negara Sumatera Selatan.   Hal ini terjadi tidak terlepas dari kondisi politik yang terjadi, terutama yang menyangkut peristiwa pertempuran lima hari lima malam 1 sampai 5 Januari 1947.  Kejadian ini diperparah dengan penyerbuan Belanda yang melancarkan agresi militer Belanda pertama tanggal 21 Juli 1947.  Peristiwa-peristiwa ini  memungkinkan Belanda dapat menanamkan pengaruhnya di Sumatera Selatan dengan memberikan angin segar berupa janji- janji, Sumatera Selatan akan menjadi daerah istimewa yang berdiri sendiri dalam bentuk NSS. Janji inilah yang mendapat respon dari rakyat, yang menginginkan jabatan pada negara tersebut.    Masa revolusi memperlihatkan kekacauan dan gejolak sosial, maka boleh jadi kita akan menghargai, bukan karena kita setuju atau tidak.  Siapapun yang karena keyakinannya menentukan sikap sebagai pendukung atau kontra negara federal.  Pilihan mereka  tentu sudah dipertimbangkan sebagai yang terbaik, pilihan itu tidak semata-mata dorongan pribadinya melainkan juga terdapat sejumlah faktor-faktor yang lain.    





DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Syafruddin.    . Sejarah dan Peranan Subkoss Dalam Perjuangan Rakyat Sumbagsel (1945-1950). Palembang:

http://eprints.unsri.ac.id/3681/1/2._SUMATERA_SELATAN_DALAM_KERANGKA_NEGARA_FEDERAL_BELANDA.pdf.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:Yh01R90_6CkJ:lib.ui.ac.id/file%3Ffile%3Dpdf/abstrak-70695.pdf+&cd=4&hl=id&ct=clnk

PERBANDINGAN PEREKONOMIAN ANTARA KERAJAAN SRIWIJAYA DAN KERAJAAN MAJAPAHIT



Mata Kuliah        :  Sejarah Perekonomian
Oleh                     :  Rigo Firmanto ( 06121004008 )
                                Azuar Anas (   )
                                Fieka Nadia ( 06121004028 )
Dosen                   :  Dr.Farida,M.Si.


Sejak dulu wilayah Nusantara sudah menjadi kawasan yang penting untuk pelayaran dunia, letak yang sangat strategis menghubungkan dua dunia yakni barat dan timur membuatnnya ramai disinggahi berbagai bangsa didunia, diantaranya bangsa China, India, Arab, hingga Yunani. Hal itu ditambah pula dengan pulau-pulau terutama di kawasan selat Malaka hingga laut Jawa merupakan pulau yang sangat kaya, ditambah tanah yang sangat subur menambah nilai lebih kawasan ini, tak heran jika banyak kerajaan besar muncul silih berganti berkuasa, perekonomian kerajaan-kerajaan tersebut bertumpu pada dua sector besar yaitu perdagangan dan pertanian, berikut akan dibahas mengenai perekonomian dua Negara nasional pra Indonesia, yaitu perekonomian kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit.
Perekonomian Kerajaan Sriwijaya
W. Wolters, seorang guru besar Sejarah Asia Tenggara di Universitas Cornell, Amerika serikat, sekalugus seorang peneliti perkembangan sejarah Sriwijaya dari segi ekonomi dan perdagangan, didalam bukunya yang berjudul “ Early Indonesian Commerce”  ia mengatakan bahwa Sriwijaya telah berhasil membuat sebuah permukiman besar di selatan selat Malaka dan memberdayakan manusianya. Pusat dari Sriwijaya memang dipalembang, namun yang menjadi pusat perekonomiannya berada dibandar-bandar pantai selat Melaka. Penguasa local tetap diberikan kewenangan untuk mengatur wilayahnya namun tetap sebagai bawahan Sriwijaya. Bahkan menurut catatan Cina, Hsin-tang-shu (sejarang dinasti Sung), menyebutkan bahwa Sriwjaya kala itu sudah memiliki 14 kota dagang yang tersebar di pantai timur Sumatera, semenanjung melayu, hingga di kepulauan diantara dua daratan besar ini.
Sektor terbesar yang menyumbang ke kas Negara Sriwijaya berasal dari sector pajak ekspor dan beacukai bagi kapal asing yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki Sriwijaya, disusul dari sector perdagangan. Jenis-jenis komuditas ekspor Sriwijaya diantaranya  yakni kayu gaharu, kapur barus, cendana, gadng, timah, cengkeh, pala, kapulaga, pinang, lada, ebony atau kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan. Barang-barang ni kemudian dibeli atau ditukarkan dengan porselen, katun, dan sutera.
Dari penelitian arkeologi di wilayah Palembang, ditemukan bukti-bukti yang menunjang data sumber tertulis mengenai komoditas perdagangan masa Sriwijaya seperti di atas. Temuan yang berkaitan dengan sarana perdagangan dan pelayaran berupa pecahan (fragmen) perahu dan mata uang Cina. Selain itu, juga ditemukan beberapa jenis komoditas, misalnya gerabah, keramik, manik-manik, dan damar. Gerabah dan keramik terutama ditemukan di perairan Bangka Belitung yang merupakan pintu gerbang masuk ke pusat Sriwijaya.
F.H. van Naerssen dan R.C. de Longh, menyatakan ada dua faktor yang menyebabkan Sriwijaya mampu menjaga kelestarian dominasinya atas Selat Malaka yang strategis tersebut. Faktor pertama adalah hubungan pusat kerajaan dengan masyarakat pantai sebagai daerah bawahannya. Faktor kedua adalah hubungan penguasa Sriwijaya dengan negara-negara besar lainnya (Cina dan India).
Hubungan Sriwijaya dengan negara Cina, India, dan Arab terjalin dengan baik. Catatan Hsin-tang-shu dan Sung-shih, banyak mencatat kedatangan utusan dari Sriwijaya. Utusan Sriwijaya kali pertama datang ke negeri Cina tercatat dalam kronik Cina pada tahun 670 M. Sejak tahun 1178 M utusan Sriwijaya tidak pernah lagi datang ke negeri tirai bambu. Juga tercatat, banyak kapal Ta-shih (negeri Arab dalam penyebutan orang Cina) berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya, dan bahkan di setiap kota dagang di bawah kekuasaan Sriwijaya telah ada pemukiman pedagang-pedagang Islam.
Aktivitas pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka sangat menguntungkan kedudukan Sriwijaya. Karena itu, pada masa kekuasaan Balaputra Dewa, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu kota Ligor (Prasasti Ligor tahun 775 M). Pendirian ibukota Ligor bukan berarti meninggalkan ibukota Sriwijaya di Sumatra Selatan, melainkan hanya untuk melakukan pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau menghindari penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra (daerah perbatasan Thailand dan Malaysia).
Ibnu Faqih dari negeri Arab yang mengunjungi Sriwijaya tahun 902 M, menyebutkan bahwa kota Sribuza (Sriwijaya) sudah dikunjungi oleh berbagai bangsa. Di pelabuhan Sribuza terdapat segala macam bahasa, yaitu bahasa Arab, Persia, Cina, India, dan Yunani, selain bahasa penduduk asli sendiri. Dalam catatan Abu Hasan Ali Al-Mas’udi (dari Arab) yang berjudul Muruju’z-Zahab Wa Ma-Adinu’l-Jauhar tahun 943 M, tercantum keterangan mengenai kerajaan sangmaharaja yang meliputi Sribuza (Sriwijaya), Qalah, dan pulau-pulau lain di Laut Cina. Tentaranya tak terhitung banyaknya. Dibutuhkan waktu dua tahun jika kita akan mengelilingi kerajaan Sribuza. Kerajaan itu banyak menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan kayu-kayuan yang wangi, seperti kapur barus, cendana, cengkeh, lada, dan minyak kastruri.
Perekonomian Kerajaan Majapahit
Ekonomi kerajaan Majapahit sangat bertopang pada dua sector utama, yaitu pertanian dan perdagangan, sector pertanian sebagai sector utama dan sector peragangan sebagai sector penopang kedua, hal ini merupakan cirri khas dari kerajaan kuno di pulau Jawa, yaitu pemanfaatan kekuatan demografis, kombinasi kedua unsure inilah yang membuat Majapahit menjadi begitu kuat, jika diperhatikan ibukota Majapahit terletak jauh dipedalaman, sehingga ia menjadi aman dari serangan dari laut, unttuk itulah Majapahit lebih focus kepada penguatan angkatan darat, walau demikan mereka juga tak meninggalkan angkatan lautnya yang berjasa besar dalam perdagangan dan penjaga laut Majapahit.
Kekuatan demogrsfi ini terlihat sangat besar jika kita membandingkan Jawa pada masa Majapahit dengan luar Jawa. Semananjung Malaya pada abad 14 memiliki penduduk sebanyak 200 ribu saja, seukuran kota kecil masa kini, sedangkan Jawa pada saat yang sama memiliki penduduk sebanyak 3 juta orang.
Dalam pertanian, kerajaan Majapahit pada dahulunya, telah melakukan sistem pengendalian air yang dalam hal ini terkait dengan pengendalian irigasi. Irigasi merupakan hal yang fundamental dalam sektor pertanian. Keberadaan Trowulan di sistem pegunungan api dan lembah dapat menjadi faktor pendukung akan keberlangsungan kegiatan pertanian di Majapahit. Lembah-lembah yang  ada dijadikan sebagai areal persawahan, dan pada lembah itu pula mengalir sungai-sungai kecil. Pertanian pada masa Majapahit ditunjang dengan perdagangan, melalui kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa dan dua kota pelabuhan di daerah pedalaman yaitu Canggu dan Hujung Galuh yang letaknya di tepi sungai Brantas.
Perdagangan merupakan sektor yang menunjang sektor perdagangan di Majapahit. Pasar dalam sektor perdagangan merupakan komponen yang penting demi terciptanya suatu trasaski barang. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan bahwa di ibukota kerajaan ada sebuah pasar yang besar. Letaknya berada di lingkungan keraton dan tidak jauh dari pintu gerbang utara dan tempat kediaman keluarga istana .
Dalam kitab Negrakertagama dan sejumlah prasasti, menyebutkan selain India, terdapat pula pedagang-pedagang asing lainnya, yaitu Camboja atau Khmer (Kamboja), Cina, Yawana (Annam), Champa, Kartanaka (India Selatan), Goda (Gaur), Syangka (Srilangka), Marinci dan Camerin. Para pedagan asing itulah yang datang ke Majaphit dengan kapal dagang mereka .
Secara umum, barang  dagangan yang biasa diperjual belikan antara lain adalah merica, kumukus (rempah-rempah), kapulaga, kapas, labu, kasumba, kelapa, campaluk, gadung, kacang, hano, dan tirisan gading. Selain itu masih ada jenis-jenis buahan yang diperjualbelikan pada masa Majapahit. Jenis buahan tesebut adalah kapundung, duwet, jambu, durian, manggis, ambawang, pisang, kacapi, limo, tal, salak, kawista, dam sentul. Dalam prasasti dan naskah disebutkan pula barang dagangan yang diperjual belikan seperti bata, periuk, besi, garam, gula, tuak, minyak, kesumba, kelapa, gambir hitam, rabung, asam muda, wijen, tampah dulang, kukusan, tali, arang, lampu wdihan dan ken atau kain, segala jenis hasil ladang, hasil sawah, hasil hutan, hasil sungai, hasil lautan, dan hasil lubang . Juga jenis hewan peliharaan seperti kerbau, sapi, kambing, babi, anjing, anak babi, ayan dan itik .

PERBANDINGAN PEREKONOMIAN
Sekitar abad 7 sampai abad 12 Masehi , berdiri Kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan maritim yang pereekonomiannya mengandalkan kekuatan armada laut untuk melakukan pelayaran dan perdagangan internasional, sekaligus menjaga wilayah kedaulatannya. Sriwjaya kala itu sudah memiliki 14 kota dagang yang tersebar di pantai timur Sumatera, semenanjung melayu, hingga di kepulauan diantara dua daratan besar ini. Sektor terbesar yang menyumbang ke kas Negara Sriwijaya berasal dari sector pajak ekspor dan beacukai bagi kapal asing yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan yang dimiliki Sriwijaya, disusul dari sector perdagangan. Jenis-jenis komuditas ekspor Sriwijaya diantaranya  yakni kayu gaharu, kapur barus, cendana, gading, timah, cengkeh, pala, kapulaga, pinang, lada, ebony atau kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan. Barang-barang ini kemudian dibeli atau ditukarkan dengan porselen, katun, dan sutera.
Sedangkan zaman Majapahit, sekitar abad 13 kan sampai abad 16 Masehi, Ekonomi kerajaan Majapahit sangat bertopang pada dua sector utama, yaitu pertanian dan perdagangan, sector pertanian sebagai sector utama dan sector perdagangan sebagai sector penopang kedua, hal ini merupakan cirri khas dari kerajaan kuno di pulau Jawa, yaitu pemanfaatan kekuatan demografis, kombinasi kedua unsure inilah yang membuat Majapahit menjadi begitu kuat. Majapahit juga mempunyai armada laut yang kuat untuk berlayar dan melakukan perdagangan expor impor komoditas yang di expor antara lain: lada, garam, kain, burung kakak tua. Komoditas yang di impor adalah: mutiara, emas, perak, sutra, berbagai produk dari keramik, berbagai produk dari besi. Perdagangan internasional dilakukan dengan India, Tiongkok, Khmer dan Siam. Majapahit adalah negara agraris dan perdagangan. Ditunjang dengan majunya pertanian dengan sistem irigasi di daerah sekitar sungai Berantas, sungai Bengawan Solo, dan dataran rendah Jawa Timur yang cocok untuk bertanam padi.




Jembatan Ampera dari Masa ke Masa